Rabu, 22 Januari 2014

PENYATUAN SIVASIDDHANTA DI MRAJAN

PURA KAWITAN
SRI KARANG BUNCING
(OLEH : PUTU SUSILAWATI)

I.            PENDAHULUAN
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan. Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Merajan atau Pamerajan ialah berasal dari kata raja mendapat awalan pe dan me serta akhiran an sehingga menjadi pemerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala dan karena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa atau Bhatara serta dibuatkan pura Khayangan. Pelinggih adalah tempat stana Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewa dan Asta Kosali serta telah disangaskara.

Fungsi Sanggah atau Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali adalah sebagai tempat suci yang memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur atau Kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga, sebagai tempat kegiatan sosial atau pendidikan yang berkaitan dengan Agama.

Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan. Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama. Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut Pelinggih Batara Hyang Guru.
Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana barulah disebut Dewa Pitara.
Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.
Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.
Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut, karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.
Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan ibunya itu.
Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.
Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa, tua dan sampai meninggal.
Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara Hyang Guru.
Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi umat Hindu di Bali.
Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang semakin dinamis.
II.      Sejarah Merajan dan pelinggih Pura Kawitan Treh Sri Karang Buncing
1.Sejarah Merajan
            Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
            Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala tohpati, Denpasar.
            Peralihan kekuasaan memang membawa dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa (menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing, adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang berbeda-beda tersebut.
            Keberadaan Pura Kawitan Sri Karang Buncing tertulis pada lontar piagem dukuh gambungan serta lontar usana bali alih aksara oleh Jro Mangku Nengah Suena dan Jro Gede Karang Tangkid suasana (ketua umum warga). Alih aksara ini menjelaskan pura kawitan sri karang buncing dibangun oleh I Gusti Karang Buncing, yang saling kawin mengawini antara dua keluarga penguasa di uaduasila (Blahbatuh) yaitu antara keturunan sri Paduka agung Made Jambe (Raja Agung Tengah) Putra mahkota dinasti dalam kepakisan dengan keturunan I Gusti Karang Buncing, Treh akhir raja-raja Bali kuno.
            Pura gaduh yang awalnya sebagai tempat suci para raja Bali akhirnya menjadi monumen kebersamaan dari dua dinasti antara hindu bali dan hindu majapahit. Demikian pula status dan fungsi pura gaduh berubah menjadi pura puseh junjungan umat Hindu Desa Pakraman Blahbatuh. Untuk menyiasati agar warga tidak tercerai berai beralih keklompok warga lain, atau kemungkinan aturan baru dari pemerintah yang berkuasa selanjutnya, diwajibkan untuk mendirikan tempat pemujaan roh suci para leluhur dari masing-masing kelompok warga, sehingga I Gusti Karang Buncing membangun pura kawitan yang ada saat ini. Pura kawitan tersebut berfungsi sebagai tempat berinteraksi antar sesama warga sri Karang Buncing dan seluruh warih (keturunan) dari Sri Ksari Warmadewa dimana pun mereka berada.
            Pada zaman Bali-kuno, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang berkuasa, umumnya distanakan di suatu tempat suci (dalam goa yang banyak lebah, di atas pura besar, di pura), terbuat dari bahan batu, tembaga, perunggu , besi yang tahan sampai ribuan tahun. Dalam prasasti tercatat hari, tanggal , dan tahun prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa. Sebelum di sosialisasikan ke masyarakat, prasasti itu akan di supata ( pasupati) terlebih dahulu di hadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu pura, memohon spirit dari kekuatan alam semesta agar menyatu dengan prasasti yang disucikan. Disamping alam sebagai saksi, menurut keyakinan masyarakat Hindu, bahwa alam akan menghukum bagi masyarakat yang tidak mengindahkan aturan tersebut, karena prasasti umumnya berisi kutukan yang dimohonkan hukuman datangnya dari segala arah. Kutukan inilah yang sangat ditakuti oleh masyarakat hindu sekitarnya.
2.Fungsi pelinggih-pelinggih Pura Kawitan Sri Karang Buncing
Candi Paduraksa
Paduraksa adalah gapura yang memiliki atap penutup yang menghubungkan kedua sisi bangunan pembatas. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama , meskipun pada masa sekarang banyak rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini. Paduraksa biasanya dilengkapi dengan pintu.
Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan), zona terluar kompleks pura. Gerbang (kori) ageng sebagai gerbang di lingkungan dalam pura menggunakan paduraksa untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura di Bali. Hal ini juga berlaku untuk kompleks tempat tinggal.


Bale Paruman
Bale Paruman Merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga dan sebagai tempat yang dipergunakan untuk mempersiapkan kebutuhan sesaji yang akan dipergunakan menjelang kegiatan-kegiatan keagamaan yang akan diselenggarakan.
Pelinggih Menjangan Saluang
Manjangan Saluwang merupakan palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M.
Kemulan Sakti
Sanggah Kamulan Sakti adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan  atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Pelinggih Tiga Sakti
Pelinggih Tiga Sakti merupakan Kahyangan Tiga yang berada dalam lingkungan keluarga atau dilingkungan masyarakat terkecil. Maksud dari pembangunan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat akan kebesaran Tuhan dalam kaitannya dengan hutang kita yang disebut Tri Rnam.
Pelinggih Surya
Pelinggih Surya adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Betara Surya (Dewa Matahari dalam agama Hindu).
Pelinggih Gedong
Pelinggih Gedong merupakan pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong ini sebagai pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri kawitan).
Pelinggih Ciri Pesaren
Pelinggih Ciri Pesaren merupakan pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan).
Pelinggih Ngurah Nyarikan
Pelinggih ini merupakan stana dari para Dewa atau tempat beristirahat para Dewa ketika sesudah diberikan suatu sesajen pada saat upacara yadnya itu dilaksanakan dan setelah itu para Dewa kembali lagi ke sorga.
Pelinggih Taksu
Taksu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan

Pelinggih Bhatara Bagus
Pelinggih Bhatara Bagus merupakan palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pelinggih taksu adalah sebagai sthana Sedana taksu yaitu Sang Hyang Kala Raja dan Sang Hyang Bhuta Kala.


Pelinggih Manjangan Saluwang
Manjangan Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
Pelinggih Bhatara Bagus Pengemit merajan
Pelinggih ini merupakan tempat berstananya roh para leluhur, dimana setelah upacara Ngaben dilaksanankan dan terakhir roh para leluhur di tempatkan atau distanakan di pelinggih Hyang Kawitan.




PENUTUP
Setelah membahas tentang merajan atau kawitan ini, maka sebagai penutup dapatlah disimpulkan bahwa Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
            Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala tohpati, Denpasar.
            Peralihan kekuasaan memang membawa dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa (menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing, adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang berbeda-beda tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar