Rabu, 22 Januari 2014

PENYATUAN SIVASIDDHANTA DI MRAJAN

PURA KAWITAN
SRI KARANG BUNCING
(OLEH : PUTU SUSILAWATI)

I.            PENDAHULUAN
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan. Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Merajan atau Pamerajan ialah berasal dari kata raja mendapat awalan pe dan me serta akhiran an sehingga menjadi pemerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala dan karena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa atau Bhatara serta dibuatkan pura Khayangan. Pelinggih adalah tempat stana Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewa dan Asta Kosali serta telah disangaskara.

Fungsi Sanggah atau Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali adalah sebagai tempat suci yang memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur atau Kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga, sebagai tempat kegiatan sosial atau pendidikan yang berkaitan dengan Agama.

Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan. Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama. Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut Pelinggih Batara Hyang Guru.
Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana barulah disebut Dewa Pitara.
Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.
Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.
Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut, karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.
Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan ibunya itu.
Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.
Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa, tua dan sampai meninggal.
Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara Hyang Guru.
Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi umat Hindu di Bali.
Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang semakin dinamis.
II.      Sejarah Merajan dan pelinggih Pura Kawitan Treh Sri Karang Buncing
1.Sejarah Merajan
            Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
            Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala tohpati, Denpasar.
            Peralihan kekuasaan memang membawa dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa (menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing, adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang berbeda-beda tersebut.
            Keberadaan Pura Kawitan Sri Karang Buncing tertulis pada lontar piagem dukuh gambungan serta lontar usana bali alih aksara oleh Jro Mangku Nengah Suena dan Jro Gede Karang Tangkid suasana (ketua umum warga). Alih aksara ini menjelaskan pura kawitan sri karang buncing dibangun oleh I Gusti Karang Buncing, yang saling kawin mengawini antara dua keluarga penguasa di uaduasila (Blahbatuh) yaitu antara keturunan sri Paduka agung Made Jambe (Raja Agung Tengah) Putra mahkota dinasti dalam kepakisan dengan keturunan I Gusti Karang Buncing, Treh akhir raja-raja Bali kuno.
            Pura gaduh yang awalnya sebagai tempat suci para raja Bali akhirnya menjadi monumen kebersamaan dari dua dinasti antara hindu bali dan hindu majapahit. Demikian pula status dan fungsi pura gaduh berubah menjadi pura puseh junjungan umat Hindu Desa Pakraman Blahbatuh. Untuk menyiasati agar warga tidak tercerai berai beralih keklompok warga lain, atau kemungkinan aturan baru dari pemerintah yang berkuasa selanjutnya, diwajibkan untuk mendirikan tempat pemujaan roh suci para leluhur dari masing-masing kelompok warga, sehingga I Gusti Karang Buncing membangun pura kawitan yang ada saat ini. Pura kawitan tersebut berfungsi sebagai tempat berinteraksi antar sesama warga sri Karang Buncing dan seluruh warih (keturunan) dari Sri Ksari Warmadewa dimana pun mereka berada.
            Pada zaman Bali-kuno, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang berkuasa, umumnya distanakan di suatu tempat suci (dalam goa yang banyak lebah, di atas pura besar, di pura), terbuat dari bahan batu, tembaga, perunggu , besi yang tahan sampai ribuan tahun. Dalam prasasti tercatat hari, tanggal , dan tahun prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa. Sebelum di sosialisasikan ke masyarakat, prasasti itu akan di supata ( pasupati) terlebih dahulu di hadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu pura, memohon spirit dari kekuatan alam semesta agar menyatu dengan prasasti yang disucikan. Disamping alam sebagai saksi, menurut keyakinan masyarakat Hindu, bahwa alam akan menghukum bagi masyarakat yang tidak mengindahkan aturan tersebut, karena prasasti umumnya berisi kutukan yang dimohonkan hukuman datangnya dari segala arah. Kutukan inilah yang sangat ditakuti oleh masyarakat hindu sekitarnya.
2.Fungsi pelinggih-pelinggih Pura Kawitan Sri Karang Buncing
Candi Paduraksa
Paduraksa adalah gapura yang memiliki atap penutup yang menghubungkan kedua sisi bangunan pembatas. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama , meskipun pada masa sekarang banyak rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini. Paduraksa biasanya dilengkapi dengan pintu.
Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan), zona terluar kompleks pura. Gerbang (kori) ageng sebagai gerbang di lingkungan dalam pura menggunakan paduraksa untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura di Bali. Hal ini juga berlaku untuk kompleks tempat tinggal.


Bale Paruman
Bale Paruman Merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga dan sebagai tempat yang dipergunakan untuk mempersiapkan kebutuhan sesaji yang akan dipergunakan menjelang kegiatan-kegiatan keagamaan yang akan diselenggarakan.
Pelinggih Menjangan Saluang
Manjangan Saluwang merupakan palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M.
Kemulan Sakti
Sanggah Kamulan Sakti adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan  atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Pelinggih Tiga Sakti
Pelinggih Tiga Sakti merupakan Kahyangan Tiga yang berada dalam lingkungan keluarga atau dilingkungan masyarakat terkecil. Maksud dari pembangunan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat akan kebesaran Tuhan dalam kaitannya dengan hutang kita yang disebut Tri Rnam.
Pelinggih Surya
Pelinggih Surya adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Betara Surya (Dewa Matahari dalam agama Hindu).
Pelinggih Gedong
Pelinggih Gedong merupakan pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong ini sebagai pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri kawitan).
Pelinggih Ciri Pesaren
Pelinggih Ciri Pesaren merupakan pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan).
Pelinggih Ngurah Nyarikan
Pelinggih ini merupakan stana dari para Dewa atau tempat beristirahat para Dewa ketika sesudah diberikan suatu sesajen pada saat upacara yadnya itu dilaksanakan dan setelah itu para Dewa kembali lagi ke sorga.
Pelinggih Taksu
Taksu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan

Pelinggih Bhatara Bagus
Pelinggih Bhatara Bagus merupakan palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pelinggih taksu adalah sebagai sthana Sedana taksu yaitu Sang Hyang Kala Raja dan Sang Hyang Bhuta Kala.


Pelinggih Manjangan Saluwang
Manjangan Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
Pelinggih Bhatara Bagus Pengemit merajan
Pelinggih ini merupakan tempat berstananya roh para leluhur, dimana setelah upacara Ngaben dilaksanankan dan terakhir roh para leluhur di tempatkan atau distanakan di pelinggih Hyang Kawitan.




PENUTUP
Setelah membahas tentang merajan atau kawitan ini, maka sebagai penutup dapatlah disimpulkan bahwa Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
            Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala tohpati, Denpasar.
            Peralihan kekuasaan memang membawa dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa (menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing, adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang berbeda-beda tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
PURA KAWITAN
SRI KARANG BUNCING
(OLEH : PUTU SUSILAWATI)

I.            PENDAHULUAN
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan. Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Merajan atau Pamerajan ialah berasal dari kata raja mendapat awalan pe dan me serta akhiran an sehingga menjadi pemerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala dan karena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa atau Bhatara serta dibuatkan pura Khayangan. Pelinggih adalah tempat stana Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewa dan Asta Kosali serta telah disangaskara.

Fungsi Sanggah atau Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali adalah sebagai tempat suci yang memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur atau Kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga, sebagai tempat kegiatan sosial atau pendidikan yang berkaitan dengan Agama.

Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan. Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama. Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut Pelinggih Batara Hyang Guru.
Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana barulah disebut Dewa Pitara.
Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.
Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.
Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut, karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.
Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan ibunya itu.
Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.
Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa, tua dan sampai meninggal.
Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara Hyang Guru.
Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi umat Hindu di Bali.
Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang semakin dinamis.
II.      Sejarah Merajan dan pelinggih Pura Kawitan Treh Sri Karang Buncing
1.Sejarah Merajan
            Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
            Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala tohpati, Denpasar.
            Peralihan kekuasaan memang membawa dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa (menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing, adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang berbeda-beda tersebut.
            Keberadaan Pura Kawitan Sri Karang Buncing tertulis pada lontar piagem dukuh gambungan serta lontar usana bali alih aksara oleh Jro Mangku Nengah Suena dan Jro Gede Karang Tangkid suasana (ketua umum warga). Alih aksara ini menjelaskan pura kawitan sri karang buncing dibangun oleh I Gusti Karang Buncing, yang saling kawin mengawini antara dua keluarga penguasa di uaduasila (Blahbatuh) yaitu antara keturunan sri Paduka agung Made Jambe (Raja Agung Tengah) Putra mahkota dinasti dalam kepakisan dengan keturunan I Gusti Karang Buncing, Treh akhir raja-raja Bali kuno.
            Pura gaduh yang awalnya sebagai tempat suci para raja Bali akhirnya menjadi monumen kebersamaan dari dua dinasti antara hindu bali dan hindu majapahit. Demikian pula status dan fungsi pura gaduh berubah menjadi pura puseh junjungan umat Hindu Desa Pakraman Blahbatuh. Untuk menyiasati agar warga tidak tercerai berai beralih keklompok warga lain, atau kemungkinan aturan baru dari pemerintah yang berkuasa selanjutnya, diwajibkan untuk mendirikan tempat pemujaan roh suci para leluhur dari masing-masing kelompok warga, sehingga I Gusti Karang Buncing membangun pura kawitan yang ada saat ini. Pura kawitan tersebut berfungsi sebagai tempat berinteraksi antar sesama warga sri Karang Buncing dan seluruh warih (keturunan) dari Sri Ksari Warmadewa dimana pun mereka berada.
            Pada zaman Bali-kuno, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang berkuasa, umumnya distanakan di suatu tempat suci (dalam goa yang banyak lebah, di atas pura besar, di pura), terbuat dari bahan batu, tembaga, perunggu , besi yang tahan sampai ribuan tahun. Dalam prasasti tercatat hari, tanggal , dan tahun prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa. Sebelum di sosialisasikan ke masyarakat, prasasti itu akan di supata ( pasupati) terlebih dahulu di hadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu pura, memohon spirit dari kekuatan alam semesta agar menyatu dengan prasasti yang disucikan. Disamping alam sebagai saksi, menurut keyakinan masyarakat Hindu, bahwa alam akan menghukum bagi masyarakat yang tidak mengindahkan aturan tersebut, karena prasasti umumnya berisi kutukan yang dimohonkan hukuman datangnya dari segala arah. Kutukan inilah yang sangat ditakuti oleh masyarakat hindu sekitarnya.
2.Fungsi pelinggih-pelinggih Pura Kawitan Sri Karang Buncing
Candi Paduraksa
Paduraksa adalah gapura yang memiliki atap penutup yang menghubungkan kedua sisi bangunan pembatas. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama , meskipun pada masa sekarang banyak rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini. Paduraksa biasanya dilengkapi dengan pintu.
Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan), zona terluar kompleks pura. Gerbang (kori) ageng sebagai gerbang di lingkungan dalam pura menggunakan paduraksa untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura di Bali. Hal ini juga berlaku untuk kompleks tempat tinggal.


Bale Paruman
Bale Paruman Merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga dan sebagai tempat yang dipergunakan untuk mempersiapkan kebutuhan sesaji yang akan dipergunakan menjelang kegiatan-kegiatan keagamaan yang akan diselenggarakan.
Pelinggih Menjangan Saluang
Manjangan Saluwang merupakan palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M.
Kemulan Sakti
Sanggah Kamulan Sakti adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan  atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Pelinggih Tiga Sakti
Pelinggih Tiga Sakti merupakan Kahyangan Tiga yang berada dalam lingkungan keluarga atau dilingkungan masyarakat terkecil. Maksud dari pembangunan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat akan kebesaran Tuhan dalam kaitannya dengan hutang kita yang disebut Tri Rnam.
Pelinggih Surya
Pelinggih Surya adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Betara Surya (Dewa Matahari dalam agama Hindu).
Pelinggih Gedong
Pelinggih Gedong merupakan pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong ini sebagai pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri kawitan).
Pelinggih Ciri Pesaren
Pelinggih Ciri Pesaren merupakan pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan).
Pelinggih Ngurah Nyarikan
Pelinggih ini merupakan stana dari para Dewa atau tempat beristirahat para Dewa ketika sesudah diberikan suatu sesajen pada saat upacara yadnya itu dilaksanakan dan setelah itu para Dewa kembali lagi ke sorga.
Pelinggih Taksu
Taksu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan

Pelinggih Bhatara Bagus
Pelinggih Bhatara Bagus merupakan palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pelinggih taksu adalah sebagai sthana Sedana taksu yaitu Sang Hyang Kala Raja dan Sang Hyang Bhuta Kala.


Pelinggih Manjangan Saluwang
Manjangan Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
Pelinggih Bhatara Bagus Pengemit merajan
Pelinggih ini merupakan tempat berstananya roh para leluhur, dimana setelah upacara Ngaben dilaksanankan dan terakhir roh para leluhur di tempatkan atau distanakan di pelinggih Hyang Kawitan.




PENUTUP
Setelah membahas tentang merajan atau kawitan ini, maka sebagai penutup dapatlah disimpulkan bahwa Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
            Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala tohpati, Denpasar.
            Peralihan kekuasaan memang membawa dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa (menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing, adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang berbeda-beda tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

pengalaman PKM

Tugas Jurnalistik .
PKM merupakan tugas kedua dari kuliah saya saat ini. Setelah tugas pertama yaitu KKN, dimana saat PKM tersebut saya dituntut harus bisa mengajar dengan baik di lingkungan sekolah. Sehabisnya KKN saya langsung mendengarkan pengumuman bahwa saya mendapatkan PKM di SD No.1 Paket Agung. Beberapa hari kemudian saya langsung melakukan observasi ketempat saya mendapatkan PKM beserta teman-teman saya yang mendapatkan PKM disana, observasi pertama saya tidak bisa bertemu dengan kepala sekolahnya sebab beliau lagi ada rapat di Denpasar. Disana saya hanya disambut oleh petugas sekolah yakni bukan laen adalah guru kelas disana, karena selain kepala sekolah guru pamong pun tidak bisa kita temui disana. Kemudian observasi kedua kita lagi menuju ke SD tersebut untuk membicarakan masalah kapan kita bisa diserahkan langsung oleh pembimbing kita untuk melakukan praktek mengajar disana. Pada saat observasi itu disepakati bahwa acara penyerahan bisa dilangsungkan karena kepala sekolahnya bisa hadir dalam acara itu.
Akhirnya hari itu pun tiba, saya beserta teman-teman saya yang berjumlah sepuluh orang resmi diserahkan oleh pembimbing kami kepada kepala sekolah disana untuk bisa melakukan praktek mengajar selama tiga bulan. Hati saya sangat senang sekali karena sebentar lagi saya akan mengajar anak didik disana, setelah acara penyerahan kita langsung mengadakan rapat kecil untuk membagi tugas mengajar dimasing-masing kelas. Dan akhirnya saya mendapatkan bagian mengajar dikelas satu, sungguh tanggung jawab yang sangat besar. Mengajar siswa kelas satu dibutuhkan mental yang sangat kuat karena anak-anak kecil itu pasti sangat susah diatur. Tapi saya tidak pantang menyerah, akan saya lalui semua nya dengan baik agar mendapatkan nilai yang sangat bagus.
Tiba saatnya hari dimana saya harus mengajar pertama kalinya dikelas satu tersebut. Sebelum mengajar saya sangat gerogi karena belum pernah sekalipun mengajar apa lagi didalam kelas, kepikiran sekali karena sudah sering melihat mahasiswa PKM sering dikerjai oleh muridnya dikelas. Akhirnya setelah masuk kelas rasa grogi dan takut itu hilang entah kemana, siswa-siswa nya begitu baik terhadap saya. Saya menyampaikan materi mereka bisa mendengarkan dengan baik namun tidak lepas dari bercandanya mereka yang membuat saya pusing dan kewalahan untuk menghadapinya. Namun sebenarnya mereka semua adalah anak-anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Sedikit saja saya marahi karena mereka ribut, mereka dapat segera diam tanpa kata sedikitpun.
Di PKM ini saya harus bisa mendaparkan 12 RPP selama tiga bulan, karena dikelas satu tidak cukup RPP na akhirnya saya meminta jam dikelas tiga dimana disana saya minta beberapa RPP untuk saya ajarkan kepada murid kelas tiga kepada teman saya agar saya mendapatkan genap 12 RPP. Berbeda dengan kelas satu mengajar dikelas tiga ini sangat begitu menyenangkan mungkin karena mereka sudah besar jadi sifat kekanak-kanakan seperti kelas satu tidak lagi terlihat. Dikelas tiga sudah bisa bertanya dengan materi yang saya sampaikan, laen dengan kelas satu mereka hanya bisa menulis dan membaca saja.
Banyak sekali kejadian yang saya dapat lihat pada saat PKM disana, dimana setiap hari ada saja para murid yang bermasalah. Ada yang berkelahi, menangis dan masih banyak lain lagi. Namun ada satu kejadian yang membuat bulu kuduk saya sangat merinding, dimana ada salah satu siswa kelas 5 yang bernama Dayu sering sekali pingsan ketika berada disekolah. Entah apa yang menyebabkan saya pun tidak tahu, karena seringnya mengalami pingsan akhirnya saya baru mengetahui bahwa anak tersebut disenangi oleh mahluk-mahluk yang tidak bisa kita lihat. Anak tersebut sering sekali melihat sesosok mahluk yang sangat menyeramkan, karena saking takutnya makana anak tersebut sering mengalami pingsan disekolah.
 Setiap pingsan ibuknya langsung datang kesekolah untuk menjemputnya dibawa kerumah, saya sangat kasihan melihat kondisi anak tersebut. Mukak nya sangat pucat, tidak ada semangat sama sekali mungkin karena terlalu seringnya dia melihat kejadian-kejadian yang aneh disekolah. Akhirnya ibuknya pun memutuskan untuk membawanya agar bersekolah ditempat yang laen namun hasilnya sama, disekolah lain pun anak ini sering melihat sesosok mahluk yang sama seperti yang dilihatnya disekolah yang lama. Ibuknya pun memutuskan akhirnya anak ini tetap disekolahkan di sekolahnya yang lama yakni di SD No.1 Paket Agung.
Banyak sekali hal-hal atau pun kejadian yang saya dapat lihat di SD tersebut, namun walaupun bagaimana kondisi sekolah ini. Saya tetaplah mahasiswa yang praktek disini demi mendapatkan nilai yang sangat bagus. Demikian yang bisa saya ceritakan disini. Terima Kasih.


siva khaswir (monistik)

Siwa Sidhanta tugas V
33
§  Aksara Yam, Wam, Sim, dan Nam adalah utpatti Sang Hyang Pancaksara. Aksara Sim, Wam, Man dan Yam adalah Sthiti Sang Hyang Pancaksara. Sedangkan aksara Nam, Mam, Sim, Wam, Yam, adalah Pralina sang Hyang Pancaksara.

34
§  Aksara Ya dihilangkan dimasukkan pada aksara A (Aksara) pada tahap pertama. Tahap kedua masukkan aksara Tang (Siwa) pada aksara U (Ukara).

35
§  Tahap ketiga aksara Ya (Yakara) dihilangkan menjadilah ia aksara Ma (Makara). Adapun aksara A (Aksara) dan aksara U (Ukara) apabila dilebur akan menjadi aksara O (Okara).

36
§  Apabila aksara Ma (Makara) dihilangkan ia akan menjadi Bindu (Windu = titik) yang terletak diatas O (Okara). Demikianlah tatacara lahir (Utpati), pemeliharaan (Sthiti), dan peleburan (Pralina). Sang Hyang Panca Brahma dan Pancaksara.

37
§  Pertama-tama aksara Ma (Makara) diikuti oleh aksara A dan selanjutnya diikuti oleh aksara U sebagai kelahiran Sang H yang Tri Aksara Mam, Am dam Um. Itulah tatacara sehingga menyebebkan mencapai sorga.

38
§  Apabila aksara A dipakai permulaan kemudian diikuti oleh aksara U dan aksara Ma, sebagai pemeliharaannya Sang Hyang Tri Aksara Am, Um dan Mam. Itulah tatacara yang jiga dapat menyebabkan mencapai sorga.

39
§  Adapun apabila dimulai dengan aksara U (Ukara) selanjutnya diikuti oleh aksara A dan terakhir aksara Ma, sebagai pelebur Sang Hyang Tryaksara Um, Am, dan Mam (akan mencapai) Sorga. Adapun aksara U lebur pada Bindu (windu=titik) dan Ardacandra. Sedangkan aksara Ma (Makura) lebur pada Nada. Nada itu terletak pada alam kosong. Demikianlah tatacaranya. Sampai pada hati Caturdasaksara.

40
§  Inilah Sang Hyang Bhedajnana kuajarkan kepadamu anakku, oleh karena teramat rahasia sifatnya, karena itu tidak diketahui oleh dunia (masyarakat), apa sebabnya? Karena ia adalah rahasia tentang diri (kita), seandainya rahasia itu tidak diketahui mustahil akan dapat mencapai (dunianya) Siwa.

41
§  Sesungguhnya asal diri manusia adalag Dewa (Dewa sarira) dan ia yang selalu menjaga Sang diri. Hal itu diketahui oleh Sang Pendeta yang merupakan pengetahuan rahasia tentang manusia, dari awal, pertengahan dan akhir, habis olehku mengajarkan kepadamu, oleh karena teramat sangat penting untuk diketahui.

42
§  Adapun murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sang Hyang Bhedajnana adalah murid yang punya imam terhadap Dana ( sedekah), orang yang dapat mengendalikan nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan Dharma, melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup di dunia ini), dan pada murid yang berbakthi berguru. Umpamanya : adalah yoga yang di ajarkan oleh Sang Hyang Bhedajnana. Adapun tatacaranya demikian (lihat sloka 43).

43
§  Ada tiga prilaku bagi orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan seperti : ada yang mengikuti prilaku Sakala, Kawalasuddha dan Malinatwa. Ketiganya dijelaskan demikian. Sakala artinya berbadan tri guna (satwam, rajas, tamas). Kewalasuddha artinya melepaskan diri dari kebahagiaan (duniawi). Malinatwa artinya bebas dari sifat tri guna. Manowijnana badannya, artinya suci badannya. Jiwanya badan suci, dari sana menuju kesangsian, itulah yoga namanya. Sinyakara kaiwalya artinya orang yang tak ternoda oleh kebahagiaan duniawi aialah yang dianggap Siwa Suci.

44
§  Tak lama kemudian, setelah senang terdiam hening pada badan yang suci, bebas dari nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud yang kosong (itulah yang dimaksud) lenyapnya segala keinginan. Itulah yang disebut kesucian tertinggi (Paramisudha) karena lenyapnya (segala keinginan) lalu menggaib tanpa ragu-ragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri. Kesimpulannya, pengetahuan suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk mencapai penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang melebihi keinginan-keinginan yang tak ternoda oleh kesenangan duniawi. Orang demikian pasa saat mati rohnya (Sang Roh Yang Mempribadi) akan memperoleh kebahagiaan. Inilah yang dikatakan Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan ) namanya, oleh karena tak terikat oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para Pendeta. Apa sarananya agar mencapai (nirwana) itu ? ada tiga sarana utama bagi orang yang mengutamakan kebebasan batin dimana sarana itu dapat mengantar kepada suatu keberhasilan. Ketiga sarana dimaksud adalah Wairagyaditraya, Pararogya dan Dhyanaditraya. Wairagyaditraya adalah mengadakan Bahyawairagya Parawairagya, Iswarapranindhana. Bahyawairagya artinya kawiratin . kawiratin artinya pendeta yang berilmu tinggi di masyarakat. Parawairagya artinya pendeta witaraga. Pendeta witaraga adalah pendeta ynang meninggalkan kesenangan hidup (keduniawian). Iswarapranindhana artinya sang pendeta ynang taat ayogaprawrtti. Ayogaprawrtti artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada tuhan. Dhyanaditraya artinya melakukan pranayama, dharana san samadhi. Pranayama artinya pemusatan dan pengaturan nafas. Dharana artinya pranawajnana artinya pemusatan bathin. Samadhi adalag Nirwyaparajnana yang artinya ingat pada tuntutan yang tampak. Itulah sarana untk menemukan Sang Hyang Bhedajnana.

45 – 47
§  Keberadaan Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan, Sang Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara itu teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sang Hyang Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sang Hyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya, umpama : apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu , lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila engkau bisa melaksanakannya dengan baik maka sang roh yang bersemayam pada dirimu akan meninggalkan badanmu. Sebagai jalan sang hyang pranawa ( sang roh yang mempribadi =atma) menuju Dwadasangulasthana (tempat yang terlettak jauh di atas 12 (jari) tingkatan), yang disebut tempat tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia sang roh yang mempribadi dari sana (sang diri), itulah yang disebut moksa.

48
§  Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari  Dwadasangulasthana, patutlah sang roh yang mempribadi menjadi paramasiwa tatwa, kembali sebagai roh (roh yang maha agung), apa sebabnya demikian ? yang berasal dari sunya akan kembali pada paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh orang yang ingin mencapai kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan utama.

SIWA KHASWIR (Monistik)
Di antara berbagai filsafat hindu Kashmir Shaivism (Kasmir Saivism) adalah sekolah saivism terdiri dari Trika dan Pratyabhijña artikulasi filosofisnya. Hal ini dikategorikan oleh berbagai akademisi sebagai monistik  idealisme idealisme absolut  monisme teistik,  idealisme realistis, transendental fisikalisme atau monisme beton. 
Sikap tertentu adalah Kesadaran bahwa adalah hal yang mendasari alam semesta.  Ini berbeda dari Vedanta afgaita dari Shankara , yang juga memberikan keunggulan untuk Kesadaran Universal (Brahman), tetapi menyatakan bahwa dunia fenomenal adalah ilusi (maya).  Tidak sebut dunia nyata yang fenomenal, tetapi melihatnya sebagai permainan Kesadaran, yang berarti bahwa segala sesuatu ada dan memiliki keberadaan dalam Kesadaran. Dengan demikian, filsafat Kashmir Shaivism, juga disebut Trika, bisa dilihat sebagai penyempurnaan atau penyesuaian Shankara yang Advaita. 
Tujuan dari Kashmir Shaivism adalah untuk bergabung dalam Kesadaran Shiva atau Universal, atau menyadari satu sudah ada dengan identitas Siwa, melalui kebijaksanaan, yoga dan kasih karunia. 
"Kashmir Shaivism telah merambah ke kedalaman pemikiran yang hidup di mana arus beragam hikmat manusia bersatu dalam sebuah sintesis bercahaya." -Tagore (9 Mei 1861 - 7 Agustus 1941) Penghargaan Nobel dalam Sastra (1913).
Kashmir Shaivism muncul selama delapan  atau kesembilan abad Masehi.  di Kashmir dan membuat langkah signifikan, baik filosofis dan teologis, sampai akhir abad kedua belas masehi.
Sebuah rumah tangga agama, itu didasarkan pada interpretasi yang monistik yang kuat dari Tantra Bhairava (dan subkategori yang dimiliki oleh Tantra Kaula), yang ditulis oleh tantra Kapalikas..Ada tambahan wahyu dari Sutra Siva untuk Vasugupta.Kasmir Saivism mengaku menggantikan Siwa Sidhanta, tradisi dualistik yang sarjana mempertimbangkan normatif tantra Shaivism. Para Siwa Sidhanta tujuan menjadi sebuah Siwa ontologis yang berbeda ( melalui anugerah siwa ) digantikan denga mengenai diri sendiri sebagai siwa yang di Kasmir monisme saivism, adalah keseluruhan dari alam semesta.  Somananda, teolog pertama Saivism monistik, adalah guru dari Utpaladeva, yang merupakan grand-guru Abhinavagupta , yang pada gilirannya adalah guru dari Ksemaraja.
Titik pandang Kashmir Shaivism dapat diringkas dengan konsep Citi, mala, upaya dan moksha, sebagai berikut.
  1. Citi: Kesadaran Universal (Citi) adalah hal-hal mendasar dari alam semesta  . Kesadaran ini adalah salah satu dan termasuk seluruh. Hal ini juga bisa disebut Tuhan atau Siwa.
  2. Mala: kontrak Kesadaran itu sendiri. Yang satu menjadi banyak. Shiva menjadi individu (jiwa). Kontraksi ini disebut mala (kotoran). Ada tiga Malas, maka mala individuasi (ANAVA mala), maka mala dari pikiran terbatas (māyīya mala), dan mala tubuh (karma mala) .
  3. Upāya: Seorang individu terjebak dalam penderitaan keberadaan diwujudkan, menderita oleh tiga Malas, akhirnya merindukan untuk kembali ke keadaan primordial nya dari Kesadaran Universal . Untuk mencapai ini, ia melakukan praktek sadhana atau spiritual. Kashmir Shaivism menjelaskan empat metode (upāya-s): āṇavopāya, metode tubuh, śaktopāya, metode pikiran,śāmbhavopāya, metode Kesadaran, dan anupāya yang 'methodless' metode .
  4. Moksa: Buah dari sadhana individu adalah pencapaian realisasi diri (moksa). Di Kashmir Shaivism, keadaan pembebasan (mukti) disebut Sahaja samadhi  dan ditandai dengan pencapaian kebahagiaan teguh kesadaran ketika tinggal kehidupan biasa seseorang
Anuttara adalah prinsip utama di Kashmir Shaivism, dan dengan demikian, itu adalah realitas fundamental bawah seluruh alam semesta . Di antara multitafsir dari Anuttara adalah: "tertinggi", "di atas semua" dan "realitas yang tak tertandingi".  Dalam Bahasa Sansekerta alfabet Anuttara dikaitkan dengan huruf pertama - "A" (di Devanagari ""). Sebagai prinsip utama, Anuttara diidentifikasi dengan Siva , Sakti (Sakti sebagai identik dengan Siva), kesadaran tertinggi (cit), cahaya tidak diciptakan ( Prakasa ), tertinggi subjek (aham) dan getaran temporal (spanda). Praktisi yang menyadariAnuttara melalui cara apapun, baik dengan usaha sendiri atau dengan transmisi langsung oleh Rahmat Siwa / shakti, dibebaskan dan merasakan sekali tidak ada perbedaan antara dirinya dan tubuh semesta. Menjadi dan makhluk menjadi satu dan sama berdasarkan dari "gesekan erotis," dimana subjek memandang objek dan yang bertindak persepsi diisi dengan nondual menjadi / kesadaran / kebahagiaan. Anuttara berbeda dari konsep transendensi dalam hal itu, meskipun itu adalah di atas segalanya, tidak berarti keadaan pemisahan dari Universe.
Aham, konsep Kashmir Shaivism , didefinisikan sebagai jantung tertinggi (Hrdayam), transenden Diri , tertinggi saya kesadaran  atau kesadaran yang tak terbatas. Ruang Aham dari sinilahkechari mudra (gerakan bebas dalam ruang jantung) direalisasikan Kechari mudra dianggap sebagai negara tertinggi evolusi spiritual
Dalam Aham, tertinggi (para) aspek Sakti direalisasikan. Aham adalah sakti dari Dewa Siwa atau dengan kata lain, perluasan Siva.  Cara lain untuk menggambarkan Aham adalah sebagai persatuan Siwa dan Sakti,  yang emittive (visarga) aspek Agung (Anuttara).
Definisi lain dari Aham adalah bahwa mantra primordial, mantra transendental,  sehingga disebut hati-Bija (mantra dari jantung) -. kekuatan dan kekuasaan kesadaran .Sebagai mantra tertinggi,Aham berkaitan erat untuk matravīrya (potensi mantra).  Dengan demikian realisasi Aham menganugerahkan kekuasaan atas mantra apapun
Ketika Siva ingin menciptakan, langkah pertama dikatakan penciptaan ruang interior (ruang hatinya) - matriks dari energi yang akan menjadi substrat dari dunia baru. Tempat ini disebut Aham yang berarti "saya" dalam Bahasa Sansekerta . Jadi yang pertama mutlak menciptakan pribadi yang suci, Aham, dan dari orang ini ilahi akan muncul manifestasi itu sendiri.
Aham identik dengan mātṛkā (roda energi phonematic), sifat penting dari semua kategori dari Prithvi tatwa (bumi) untuk Sadasiva tatwa . Aham adalah tempat peristirahatan terakhir, tempat tinggal, tempat tinggal semua makhluk, wadah dari dunia.
Aham terbentuk dari A + HA + M, tiga serangkai Shiva (A), Sakti (HA) dan bindu (M).  M adalah titik akhir, persatuan Siwa dan Sakti, di mana mereka larut ke Paramaśiva. Segitiga A + HA + M adalah inti dari sistem Trika.  A + HA + M membentuk Bija sṛṣṭi (biji emisi), mantra yang identik dengan energi ekspansi dan penciptaan. 
Aham juga dapat didefinisikan sebagai: A = abedha (non-diferensiasi), HA = Bheda (diferensiasi) dan M = bhedābheda (diferensiasi cum non-diferensiasi)
Di sisi lain, MAHA, cermin citra Aham,  terbentuk dari MA + HA + A, dan merupakan bija saṃhara (benih reabsorpsi) - mantra yang identik dengan proses evolusi spiritual, atau dalam kata lain dari reabsorpsi kembali ke dalam manifestasi absolut. Dalam MAHA, Sakti (HA) masuk bindu (M) (makhluk terbatas) dan reuni dengan Agung (A).
Pratyabhijña
Pratyabhijña adalah artikulasi filosofis Kashmir Saivism. Pratyabhijña secara harfiah berarti "pengakuan spontan", karena tidak memiliki upāyas (berarti), yaitu, tidak ada yang praktek; satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah mengenali siapa Anda . Ini "berarti" benar-benar bisa disebut anupāya,Bahasa sansekerta untuk "tanpa berarti". Ksemaraja, mahasiswa dari abinagata gova menggunakan analogi cermin untuk menjelaskan Pratyabhijña.
Kaula
Meskipun peliharaan ke dalam tradisi rumah tangga, Kashmir Saivism merekomendasikan kinerja rahasia praktek Kaula sesuai dengan warisan. Hal ini harus dilakukan dalam pengasingan dari mata publik, karena itu memungkinkan seseorang untuk menjaga penampilan seorang perumah tangga khas.
Svatantrya, yang diciptakan sendiri kehendak bebas
Konsep kehendak bebas memainkan peran sentral di Kashmir Shaivism. Dikenal dengan nama teknis Savatantri  itu adalah penyebab dari penciptaan alam semesta - kekuatan primordial yang membangkitkan mutlak dan memanifestasikan dunia di dalam kesadaran tertinggi dari Dewa Siwa.
Svātantrya adalah satu-satunya milik Allah, semua sisa subyek sadar menjadi rekan peserta dalam berbagai derajat pada kedaulatan ilahi. Manusia memiliki tingkat yang terbatas kehendak bebas berdasarkan tingkat kesadaran. Pada akhirnya, Shaivism Kashmir sebagai monistik idealis sistem filsafat memandang semua mata pelajaran menjadi identik - "semua adalah satu" - dan yang satu adalah Siva, kesadaran tertinggi. Dengan demikian, semua mata pelajaran memiliki kehendak bebas tetapi mereka bisa tahu tentang kekuatan ini. Ketidaktahuan juga adalah kekuatan yang diproyeksikan oleh svātantrya dirinya pada penciptaan dan hanya dapat dihapus oleh svātantrya.
Sebuah fungsi dari svātantrya adalah bahwa pemberian rahmat ilahi Saktipat.  Dalam sistem filsafat pembebasan spiritual tidak dapat diakses oleh usaha belaka, tapi tergantung hanya pada kehendak Allah. Dengan demikian, murid hanya bisa menyerahkan diri dan menunggu rahmat ilahi untuk turun dan menghilangkan keterbatasan yang memenjarakan kesadarannya.
Kausalitas di Kashmir Shaivism dianggap diciptakan oleh Svātantrya bersama dengan alam semesta. Dengan demikian tidak ada kontradiksi, pembatasan atau aturan untuk memaksa Siva bertindak salah satu cara atau yang lain Svātantrya selalu ada di luar perisai membatasi ilusi kosmis Maya.
The sutra Siva
Para inisiat besar pertama tercatat dalam sejarah ini jalan spiritual adalalah vasugupta(c. 875-925). Vasugupta dirumuskan untuk pertama kalinya dalam menulis prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin utama dari sistem ini.
Sebuah karya fundamental Shaivism, secara tradisional dikaitkan dengan Vasugupta, adalah Siva surtas dari Vagupta .  Secara tradisional, ini sutra dianggap telah diwahyukan kepada Vasugupta oleh Siwa. Menurutnya mitos, Vasugupta memiliki mimpi  dimana Siwa menyuruhnya pergi ke gunung Mahadeva di Kashmir. Di gunung ini dia dikatakan telah menemukan ayat-ayat tertulis di batu, Shiva Sutras, yang menguraikan ajaran monisme Siwa. Teks ini adalah salah satu sumber utama bagi Kashmir Shaivisme Pekerjaan adalah kumpulan kata-kata mutiara Sutra-sutra menjelaskan sebuah (murni non-dual advaita ) metafisika. Ini sutra, yang diklasifikasikan sebagai jenis Sastra Hindu dikenal sebagai agamas, juga dikenal sebagai Siwa Upanishad Samgraha(Sansekerta: śivopaniṣad saṅgraha) atau Shivarahasyagama Samgraha. 

Klasifikasi dari tradisi tertulis
Para Kashmir pertama Siwa teks ditulis di awal abad kesembilan Masehi.  Sebagai monistik tantra sistem, Trika Shaivism, seperti yang juga dikenal, menarik ajaran dari shutis , seperti monistik tantra bairapa , Shiva Sutras dan vasugupta , dan juga versi unik dariBhagawan Gita yang memiliki sebuah komentar oleh abinagagupta, yang dikenal sebagai yang gitartha samgraha Ajaran ini juga diambil dari Tantraloka dari Abhinavagupta, menonjol di antara tubuh besar Smritis dipekerjakan oleh Kashmir Shaivism.
Secara umum, tradisi tulis seluruh Shaivism dapat dibagi dalam tiga bagian dasar: Agama Sastra, Sastra dan Spanda Pratyabhijñā Sastra.
1. Agama Sastra adalah tulisan-tulisan yang dianggap sebagai wahyu langsung dari Dewa Siwa. Tulisan-tulisan ini pertama kali disampaikan secara lisan, dari master ke murid layak. Mereka termasuk karya penting seperti Mālinīvijaya Tantra, Svacchanda Tantra, Vijñānabhairava Tantra, Netra Tantra, Mṛgendra Tantra, Rudrayāmala Tantra, sivasutra dan lainnya. Ada juga komentar banyak untuk karya-karya ini, Śivasūtra memiliki sebagian besar dari mereka. 
2. Spanda Sastra, pekerjaan utama yang Spanda Karika dari Vasugupta, dengan banyak komentar nya. Dari mereka, dua sangat penting utama: Spanda Sandoha (pembicaraan ini hanya komentar tentang ayat pertama dari Spanda Karika), dan Spanda Nirṇaya (yang merupakan komentar dari teks lengkap). 
3. Pratyabhijñā Sastra adalah mereka yang memiliki tulisan-tulisan terutama metafisik konten. Karena sangat tinggi tingkat spiritual dan intelektual, ini bagian dari tradisi tertulis dari Shaivism adalah diakses setidaknya untuk yang belum tahu. Namun demikian, batang tubuh tulisan mengacu pada modalitas yang paling sederhana dan paling langsung realisasi spiritual Pratyabhijñā berarti. "Pengakuan" dan mengacu pada pengakuan spontan dari sifat ilahi tersembunyi dalam setiap manusia ( atman ). Karya-karya yang paling penting dalam kategori ini adalah: Isvara Pratyabhijñā, karya fundamental utpaladeva, dan Pratyabhijñā Vimarśinī, sebuah komentar untuk Isvara Pratyabhijñā Pratyabhijñā sarana Isvara sebenarnya pengakuan langsung dari Tuhan (Isvara) sebagai identik dengan Hati seseorang.. Sebelum Utpaladeva, tuannya Somānanda wrote Siva Dṛṣṭi (Visi Siva), sebuah renungan
Tokoh Bijak Kashmir Saivisme
Abhinavagupta
Semua empat cabang dari tradisi Shaivism Kashmir disatukan oleh filsuf besar Abinagagupva (sekitar 950-1020 Masehi  ). Di antara karya-karya penting itu, yang paling penting adalah Tantraloka ("Cahaya Ilahi Tantra"), sebuah karya dalam ayat-ayat yang merupakan sintesis megah dari tradisi seluruh monistik Shaivism. Abhinavagupta berhasil merapikan semua perbedaan jelas dan perbedaan yang ada antara berbagai cabang dan sekolah Shaivism Kashmir dari hadapannya. Dengan demikian ia menawarkan visi kesatuan, koheren dan lengkap dari sistem ini. Karena panjang luar biasa (5859 ayat  ) dari Tantralokaabinavagupva sendiri menyediakan versi lebih pendek dalam prosa, yang disebut Tantrasara ("Esensi Tantra").
Jayaratha
Lain Kashmir penting Shaivite, Jayaratha (1150-1200 AD, ), menambahkan komentarnya untuk Tantraloka , tugas dari kesulitan besar yang hidup mengejar yang panjang. Dia menyediakan konteks yang lebih, kutipan banyak dan klarifikasi tanpa yang beberapa bagian dari Tantraloka tidak mungkin untuk menjelaskan hari ini.

Ajaran Terkait
Krama
Para krama istilah berarti 'kemajuan', 'gradasi' atau 'suksesi' masing-masing 'perkembangan spiritual' arti atau 'bertahap penyempurnaan dari proses mental' (vikalpa),atau 'berturut-penyingkapan yang terjadi di tingkat akhir ', dalam Kesadaran Agung (cit).
Bahkan jika sekolah Krama merupakan bagian integral dari Kashmir Shaivism, juga sistem independen baik secara filosofis dan historis.  Krama adalah signifikan sebagai sintesis dari Tantra dan sakta tradisi berdasarkan monistik Saivism.  Sebagai Tantra dan Sakti berorientasi sistem dari mistik asa,  Krama mirip dalam beberapa hal Spanda baik sebagai pusat pada aktivitas sakti, dan juga mirip dengan kula dalam pendekatan Tantra mereka. Di dalam keluarga Kashmir Shaivism, sekolah Pratyabhijñā adalah Krama bentuk yang paling berbeda. Fitur yang paling khas dari Krama adalah monistik-dualistik nya (bhedābhedopāya) disiplin dalam tahap mendahului untuk realisasi rohani.  Bahkan jika Kashmir Shaivism adalah monisme idealistik, masih ada tempat untuk aspek dualistik sebagai tahap mendahului pada jalan spiritual . Jadi dikatakan bahwa dalam praktek Krama mempekerjakan dualistik-cum-nondualistik metode, namun dalam filsafat yang mendasari tetap nondualistik.  Krama memiliki bias epistemis positif,  ditujukan untuk membentuk sebuah sintesis dari kenikmatan (bhoga) dan penerangan (moksa).

Spanda
Sistem Spanda, diperkenalkan oleh Vasugupta (c. 800 AD), biasanya digambarkan sebagai "getaran / gerakan kesadaran". Abinagagupta menggunakan ungkapan "semacam gerakan" untuk menyiratkan perbedaan dari gerakan fisik, melainkan lebih merupakan getaran atau suara di dalam Ilahi, sebuah berdenyut.  Inti dari getaran ini adalah kesadaran diri berulang gembira.  Prinsip utama dari sistem ini adalah "semuanya Spanda", baik realitas eksterior obyektif dan dunia subyektif.  Tidak ada tanpa gerakan,  namun gerakan utama terjadi tidak dalam ruang atau waktu, tetapi di dalam Kesadaran Agung (cit). Jadi, ini adalah siklus dari internalisasi dan eksternalisasi dari kesadaran itu sendiri, yang berhubungan dengan pesawat paling tinggi dalam penciptaan ( siva sakti sava ).  Dalam rangka untuk menggambarkan konotasi konsep Spanda, serangkaian konsep setara lain disebutkan, seperti: kesadaran diri sendiri yang berulang - vimarśa,  tanpa hambatan kehendak Kesadaran Agung (cit) - svātantrya, tertinggi energi kreatif - visarga, jantung ilahi - hṛdaya dan lautan cahaya-kesadaran  cidānanda.
Teks-teks yang paling penting dari sistem ini adalah sutra sivaSpanda Karika dan Vijnana Bhairava Tantra.
Lalleshwari (लल्लेश्वरी) (1320-1392), juga dikenal sebagai Lalla, Lal ded atau "Lal Arifa".  Dia adalah seorang mistik dari Shaiviste kasmir sekte,  dan pada saat yang sama, seorang sufi santo.Dia adalah pencipta puisi mistik disebut vatsun atau Vakhs, secara harfiah 'pidato'. Dikenal sebagai Vakhs Lal, ayat nya adalah komposisi paling awal dalam bahasa kasmir dan merupakan bagian penting dalam sejarah sastra kasmir.
BIOGRAFI
Lalleshwari lahir di Pandretan (Puranadhisthana kuno) sekitar empat setengah kilometer ke arah tenggara dari srinagar di kasmir pandit keluarga. Dia menikah pada usia dua belas, tetapi pernikahannya tidak bahagia dan ia meninggalkan rumah pada dua puluh empat untuk mengambil Sanyas (penolakan) dan menjadi murid dari Shaivite guru sidha srikanda (Sed Bayu). Dia melanjutkan tradisi mistik shaivism di Kashmir, yang dikenal sebagai trika sebelum 1900.  Ada berbagai cerita tentang pertemuan Lal ded dengan para pendiri tasawuf Kashmir. Satu cerita menceritakan bagaimana, kapan Sheikh  (Nund Rishi) lahir, dia tidak akan memberi makan dari ibunya. Setelah tiga hari, Lal DED tiba dan memberinya makan dirinya sendiri. Dia mengatakan kepada bayi itu, karena ia tidak malu untuk lahir, mengapa dia malu untuk minum dari payudara ibunya?

Menurut cerita lain, ketika Lal DED ditemui Sheikh ali hamadani ia melompat ke dalam tandoor (oven tanah liat) dan, ketika Syekh mengangkat tutupnya, Lal DED keluar mengenakan bunga. Ketika ditanya mengapa ia berpakaian seperti ini, Lal ded menjawab, mengatakan "Hari ini saya melihat seorang pria untuk pertama kalinya". Namun, ini cerita kedua ini dibantah oleh sebagian ulama sebagai tidak bisa diandalkan dan sebagai contoh bagaimana misionaris Islam ke Kashmir mencoba untuk mengambil alih Lal DED untuk tujuan mereka karena dia mewakili spiritualitas sudah ada Kashmir.