PURA KAWITAN
SRI KARANG BUNCING
(OLEH : PUTU
SUSILAWATI)
I.
PENDAHULUAN
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar=
tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan
artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang
menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah
untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan
di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan. Trimurti, adalah keyakinan stana
Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu,
Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma
di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Sanggah berasal
dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan
suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan
atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat
pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Merajan atau Pamerajan
ialah berasal dari kata raja mendapat awalan pe dan me serta akhiran an
sehingga menjadi pemerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah
Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala
dan karena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa atau Bhatara
serta dibuatkan pura Khayangan. Pelinggih adalah tempat stana Hyang Widhi Waça
dengan segala manifestasinya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewa dan Asta
Kosali serta telah disangaskara.
Fungsi Sanggah
atau Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali adalah sebagai tempat
suci yang memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur atau Kawitan, sebagai
tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga, sebagai
tempat kegiatan sosial atau pendidikan yang berkaitan dengan Agama.
Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan
Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi
vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya
menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat
tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan.
Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya
disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal
Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama.
Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut
Pelinggih Batara Hyang Guru.
Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai
tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar
Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah
diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana
barulah disebut Dewa Pitara.
Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana
berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia
dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada
prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali
umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan
Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa
Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.
Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu
pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun
Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana
ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam
pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada
dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.
Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut,
karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin
ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan
banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi
itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti
saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.
Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu
yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah,
lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara
langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan
secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan
ibunya itu.
Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang
bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu
disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia
sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur
Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.
Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya
mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan.
Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah
menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa,
tua dan sampai meninggal.
Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana
nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan
upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras
catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan
di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena
itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara
Hyang Guru.
Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah
satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat
pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk
menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi
umat Hindu di Bali.
Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik
sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini
dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang
Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah
kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang
semakin dinamis.
II.
Sejarah Merajan dan pelinggih
Pura Kawitan Treh Sri Karang Buncing
1.Sejarah
Merajan
Konsep pemujaan tuhan melalui
bathara hyang kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu
sejaman dengan keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri
Karang Buncing muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung
dengan Sri Rigis yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir
buncing (laki dan perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga
boleh disebut sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing
ke-1, maka adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian
melahirkan warga Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik
kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang
Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para
warga dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing,
pasal 21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa
mandala tohpati, Denpasar.
Peralihan kekuasaan memang membawa
dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di
Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa
(menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali
karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing,
bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan
lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat
itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing,
adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang
Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang
berbeda-beda tersebut.
Keberadaan Pura Kawitan Sri Karang
Buncing tertulis pada lontar piagem dukuh gambungan serta lontar usana bali
alih aksara oleh Jro Mangku Nengah Suena dan Jro Gede Karang Tangkid suasana
(ketua umum warga). Alih aksara ini menjelaskan pura kawitan sri karang buncing
dibangun oleh I Gusti Karang Buncing, yang saling kawin mengawini antara dua
keluarga penguasa di uaduasila (Blahbatuh) yaitu antara keturunan sri Paduka
agung Made Jambe (Raja Agung Tengah) Putra mahkota dinasti dalam kepakisan
dengan keturunan I Gusti Karang Buncing, Treh akhir raja-raja Bali kuno.
Pura gaduh yang awalnya sebagai
tempat suci para raja Bali akhirnya menjadi monumen kebersamaan dari dua
dinasti antara hindu bali dan hindu majapahit. Demikian pula status dan fungsi
pura gaduh berubah menjadi pura puseh junjungan umat Hindu Desa Pakraman
Blahbatuh. Untuk menyiasati agar warga tidak tercerai berai beralih keklompok
warga lain, atau kemungkinan aturan baru dari pemerintah yang berkuasa
selanjutnya, diwajibkan untuk mendirikan tempat pemujaan roh suci para leluhur
dari masing-masing kelompok warga, sehingga I Gusti Karang Buncing membangun
pura kawitan yang ada saat ini. Pura kawitan tersebut berfungsi sebagai tempat
berinteraksi antar sesama warga sri Karang Buncing dan seluruh warih
(keturunan) dari Sri Ksari Warmadewa dimana pun mereka berada.
Pada zaman Bali-kuno,
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang berkuasa, umumnya
distanakan di suatu tempat suci (dalam goa yang banyak lebah, di atas pura
besar, di pura), terbuat dari bahan batu, tembaga, perunggu , besi yang tahan
sampai ribuan tahun. Dalam prasasti tercatat hari, tanggal , dan tahun prasasti
yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa. Sebelum di sosialisasikan ke
masyarakat, prasasti itu akan di supata ( pasupati) terlebih dahulu di hadapan
ida bhatara/dewa yang berstana di suatu pura, memohon spirit dari kekuatan alam
semesta agar menyatu dengan prasasti yang disucikan. Disamping alam sebagai
saksi, menurut keyakinan masyarakat Hindu, bahwa alam akan menghukum bagi
masyarakat yang tidak mengindahkan aturan tersebut, karena prasasti umumnya
berisi kutukan yang dimohonkan hukuman datangnya dari segala arah. Kutukan
inilah yang sangat ditakuti oleh masyarakat hindu sekitarnya.
2.Fungsi
pelinggih-pelinggih Pura Kawitan Sri Karang Buncing
Candi Paduraksa
Paduraksa adalah gapura yang memiliki atap penutup yang menghubungkan kedua
sisi bangunan pembatas. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk
bangunan-bangunan lama , meskipun pada masa sekarang banyak rumah yang juga
menggunakan gapura semacam ini. Paduraksa biasanya dilengkapi dengan pintu.
Pada aturan
zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik candi bentar maupun
paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan
gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista
mandala (jaba pisan), zona terluar kompleks pura. Gerbang (kori)
ageng sebagai gerbang di lingkungan dalam pura menggunakan paduraksa untuk
membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama
mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura di Bali. Hal ini juga
berlaku untuk kompleks tempat tinggal.
Bale Paruman
Bale Paruman Merupakan bangunan
yang berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga dan sebagai tempat yang
dipergunakan untuk mempersiapkan kebutuhan sesaji yang akan dipergunakan
menjelang kegiatan-kegiatan keagamaan yang akan diselenggarakan.
Pelinggih Menjangan Saluang
Manjangan
Saluwang merupakan palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit,
penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M.
Kemulan Sakti
Sanggah
Kamulan Sakti adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau
Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga
huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata
wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian
ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja
pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana
manusia itu ada.
Pelinggih Tiga Sakti
Pelinggih Tiga
Sakti merupakan Kahyangan Tiga yang berada dalam lingkungan keluarga atau
dilingkungan masyarakat terkecil. Maksud dari pembangunan pelinggih Rong Tiga
dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat akan kebesaran Tuhan
dalam kaitannya dengan hutang kita yang disebut Tri Rnam.
Pelinggih Surya
Pelinggih Surya
adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat menghaturkan sesaji yang
dipersembahkan kepada Betara Surya (Dewa Matahari dalam agama Hindu).
Pelinggih Gedong
Pelinggih
Gedong merupakan pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di bali
dan yang mengembangkan keturunan. Gedong ini sebagai pemujaan leluhur dari
pihak wanita (istri kawitan).
Pelinggih Ciri Pesaren
Pelinggih Ciri
Pesaren merupakan pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan).
Pelinggih Ngurah Nyarikan
Pelinggih ini merupakan stana dari
para Dewa atau tempat beristirahat para Dewa ketika sesudah diberikan suatu
sesajen pada saat upacara yadnya itu dilaksanakan dan setelah itu para Dewa
kembali lagi ke sorga.
Pelinggih Taksu
Taksu : Sanghyang Widhi dalam
manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan
Pelinggih
Bhatara Bagus
Pelinggih
Bhatara Bagus merupakan palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu
putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pelinggih taksu adalah
sebagai sthana Sedana taksu yaitu Sang Hyang Kala Raja dan Sang Hyang Bhuta
Kala.
Pelinggih Manjangan
Saluwang
Manjangan
Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa
beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
Pelinggih Bhatara Bagus
Pengemit merajan
Pelinggih
ini merupakan tempat berstananya roh para leluhur, dimana setelah upacara
Ngaben dilaksanankan dan terakhir roh para leluhur di tempatkan atau distanakan
di pelinggih Hyang Kawitan.
PENUTUP
Setelah membahas tentang merajan atau kawitan ini, maka sebagai
penutup dapatlah disimpulkan bahwa Konsep pemujaan tuhan melalui bathara hyang
kawitan setelah datangnya Dhang Hyang Nirata di Bali, yaitu sejaman dengan
keberadaan beberapa generasi setelah Era Sri Karang Buncing. Sri Karang Buncing
muncul dua periode, Sri Karang Buncing ke-1 saudara kandung dengan Sri Rigis
yang melahirkan Sri Kebo Iwa. Adik kandung Sri Kebo Iwa lahir buncing (laki dan
perempuan) dan diberi nama Sri Karang Buncing juga, sehingga boleh disebut
sebagai Sri Karang Buncing yang ke-2. Seperti Sri Karang Buncing ke-1, maka
adik laki perempuan ini pun juga di nikahkan, yang kemudian melahirkan warga
Sri Karang Buncing yang ada sekarang di jagat ini.
Sri Karang Buncing ke-2 adalah adik
kandung dari Sri Kebo Iwa yang hidup sekitar tahun 1324 Masehi. Nama Sri Karang
Buncing inilah yang dijadikan momentum untuk mengenang para leluhur oleh para warga
dan dipertegas kembali dalam anggaran rumah tangga Sri Karang Buncing, pasal
21, yang diputuskan pada maha sabha, senin, 2 februari 2004, di Nusa mandala
tohpati, Denpasar.
Peralihan kekuasaan memang membawa
dampak politik psikologis bagi warga Sri Karang Buncing dalam kepemerintahan di
Bali untuk mencari identitas leluhur mereka terdahulu karena/nyineb wangsa
(menutup asal usul) sehingga di masyarakat ada yang menyebut diri, prabali
karang buncing, arya karang buncing, sri karang buncing, gusti karang buncing,
bendesa karang buncing, pasek karang buncing, soroh karang buncing, dan
lain-lain, tergantung dari sisi mana memulainya sesuai tugas dan jabatan saat
itu. Padahal sesungguhnya Karang Buncing berasal dari nama Sri Karang Buncing,
adik kandung dari sri kebo iwa yang moksah di jawa. Dari nama Sri Karang
Buncing inilah sesungguhnya lahir dan berkembang nama-nama Karang Buncing yang
berbeda-beda tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA